Laman

Monday, July 4, 2011

Working Girls, tentang Mereka yang Menyiasati Kemiskinan

Working Girls, tentang Mereka yang Menyiasati Kemiskinan


Working Girls, tentang Mereka yang Menyiasati Kemiskinan

Posted: 04 Jul 2011 12:48 AM PDT

FILM karya Nia Dinata tak pernah lepas dari tema tentang kehidupan perempuan. Kali ini, Nia memproduksi film berjudul Working Girls.

Berbeda dengan film sebelumnya, Working Girls mengambil jenis dokumenter. Ada tiga judul cerita dan disajikan oleh sutradara yang berbeda pula.

Bagian pertama yang berjudul Lima Menit Lagi Ah.. Ah.. Ah.. disutradarai Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom, mengambil cerita tentang kehidupan penyanyi dangdut belia Ayu Riana. Penyanyi dangdut asal Bandung itu merupakan juara ajang pencarian bakat Stardut 2008.

Gadis yang masih berumur 14 tahun itu harus menopang kehidupan ekonomi keluarga. Kehidupan Ayu yang mulai menjauh dari popularitas, lalu coba bangkit kembali.

Popularitas instan yang diraihnya berbanding lurus dengan penghasilan yang kian hari semakin menyusut. Di awal karier di industri hiburan, Ayu sempat mencicipi bayaran Rp10 juta setiap kali manggung. Honor itu terus surut hingga dia terpaksa tampil di acara pernikahan di gang sempit dengan bayaran Rp500 ribu saja.

Namun, Ayu ikhlas menjalani lika-liku itu demi menghidupi keluarga dan ambisi pribadi menjadi penyanyi dangdut terkenal.

Di bagian ke dua, film berjudul Asal Tak Ada Angin mengangkat kehidupan para seniman ketoprak. Mereka hidup dari satu tempat ke tempat lain dengan membuka kompleks kecil pertunjukan ketoprak. Mereka tidur di bawah panggung dan gubuk reot yang bisa dibongkar pasang kapan saja.

Setiap kali manggung, mereka hanya mendapat bayaran Rp2 ribu karena sepi penonton. Meski begitu, mereka tetap mengandalkan hidup dari kesenian yang mulai ditinggalkan orang karena tergerus tayangan televisi. Sekuat tenaga mereka menyiasati kemiskinan yang dialami.

Sedangkan di bagian ketiga disutradarai Daud Sumolang dan Nazyra C Noer berjudul Ulfie Pulang Kampung. Film bercerita tentang waria yang berasal dari Aceh bernama Ulfie. Untuk bertahan hidup, Ulfie membuka salon di Jakarta. Waria yang bernama asli Zulfikar itu merupakan penderita HIV/Aids.

Ulfie memutuskan pulang ke kampung halaman menemui keluarga besar yang bertahun-tahun tak dikunjunginya. Saat berada di Aceh, Ulfie melihat kenyataan rekannya sesama waria banyak meninggal karena HIV/Aids.

Oleh karena itu, Ulfie giat berkampanye tentang bahaya HIV/Aids kepada rekan sesama waria. Dia tak ingin banyak rekan yang mati karena tak pernah mendapat akses informasi tentang virus berbahaya itu.

Meski berdurasi 120 menit, film ini tak membuat penonton jenuh. Pilihan Nia membuat film dokumenter bukan tanpa alasan. Dengan film dokumenter, tiga cerita yang diangkat memang benar-benar kenyataan dan tidak dibuat-buat. Alur cerita dibiarkan mengalir tanpa skenario, tanpa arahan sutradara.

Lewat wawancara orang-orang yang berada di cerita ini justru membuat kita masuk lebih jauh menyelami kehidupan mereka tanpa ending yang bisa ditebak.

Pilihan akhir cerita di film dokumenter ini memang menggambarkan bahwa perempuan yang diangkat ke dalam film itu masih terus berjuang mewujudkan mimpi-mimpinya hingga sekarang.

Kita sudah tak heran lagi dengan tema-tema gender, feminisme yang selalu diangkat Nia Dinata. Sejarah diskriminasi dan domestifikasi perempuan memang lahir seiring dengan peradaban manusia. Sebagai aktivis perempuan, hal yang wajar jika film Nia tak pernah berhenti melancarkan kritik dan perlawanan terhadap budaya patriarki yang cenderung menomorduakan perempuan.

Sayangnya, meski sudah dibuat dalam format 35 mm, film ini hanya ditayangkan di beberapa bioskop tertentu saja. Di Jakarta, misalnya. Film itu hanya ditayangkan di jaringan bioskop Blitzmegaplex dan XXI Metropole (Megaria). Penyebabnya, lagi-lagi keterbatasan dana.

Walau begitu, di tengah tiarapnya film box office Hollywood dan film horor-seks lokal yang kian meraja, film ini memberikan alternatif film berkualitas karya sineas Indonesia.(rik)

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Ten Years Of Media Lens - Our Problem With Mainstream Dissidents.

Ello Tak Pede Jadi Aktor

Posted: 03 Jul 2011 11:25 PM PDT

JAKARTA - Beken sebagai penyanyi, Ello pernah ditawari main sinetron. Namun, pelantun Masih Ada itu menolak karena belum siap mengikuti jejak kekasihnya, Julia Estelle menekuni bidang akting.

"Tawaran untuk sinetron, iya ada. Tapi kayaknya gue belum siap karena jujur enggak bisa akting sebenarnya," aku Ello yang ditemui di Dahsyat, RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Senin (4/7/2011).

Pemilik nama Marcello Tahitoe ini dengan rendah hati merasa belum sanggup berakting, walau pada setiap video klip Ello tak lepas dari akting.

"Kalau di video klip itu sih pose, bukan dialog. Kalau dialog masih berat, belum sanggup, dan belum bisa," katanya.

Ternyata, banyak produser film dan sinetron sudah melirik anak Diana Nasution itu untuk diajak berlaga di depan kamera. Sejak 2005, tawaran akting menghampiri penyanyi Andai (Selamanya) itu.

"Dari tahun 2005 sudah banyak yang nawarin. Tapi gue enggak pede (percaya diri) jadi aktor," tandasnya.(ang)

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Ten Years Of Media Lens - Our Problem With Mainstream Dissidents.

Kado Ultah Nikita Willy Mobil Rp3,4 Miliar

Posted: 03 Jul 2011 10:20 PM PDT

JAKARTA - Nikita Willy mendapat kado istimewa di hari ulang tahun ke-17. Bintang sinetron Putri yang Ditukar itu dihadiahi orangtua mobil mewah.

Mobil bermerek Cadillac Escalade ESV  diberikan langsung kepada Nikita saat menggelar pesta ulang tahun bersama teman dan orang tuanya. Pada pesta ulang tahun mewah itu, Nikita sengaja mengundang penyanyi asal
Amerika, Keith Martin.

"Ya Alhamdulillah banget ada juga pesta di ultah ke-17 tahun. Sudah dipersiapkan matang-matang sama mama. Tapi cukup surprise. Tanggal 29 Juni dapat surpise dari teman-teman, sekarang sama mama dan papa," ujar
Nikita yang ditemui di Rolling Stone Cafe, Jalan Ampera, Jakarta Selatan, Minggu (3/7/2011) malam.

Menggelar pesta mewah dan mendapat hadiah mewah tentu menjadi kebahagiaan bagi bintang film MBA ini. Hadiah dan pesta mewah itu bukan hal sulit bagi Nikita yang dikabarkan mendapat honor ratusan juta per episode sinetron.

"Senang banget, 17 tahun kan sudah boleh menyetir. Surpise sih. Senang dengan mama yang tahu apa yang aku mau," tandasnya.

Nikita pernah dikabarkan sebagai artis dengan honor termahal usai mengantongi piala Panasonic Global Awards (PGA) 2011 kategori aktris terbaik.
(rik)

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Ten Years Of Media Lens - Our Problem With Mainstream Dissidents.

No comments:

Post a Comment